Paradigma Peraturan Mahkamah Agung: Modern Legal Positivism Theory,
Teori Hukum Progresif Dan Urgensi Kodifikasinya
Oleh : Imam Prabowo, S.H.
Analis Perkara Peradilan Pengadilan Agama Maumere
Het Recht Hink Achter De Feiten Aan. Adagium tersebut menjelaskan bahwa hukum senantiasa tertatih-tatih mengikuti perkembangan zaman. Hukum pada satu waktu bersifat statis, sementara kehidupan dan interaksi dalam masyarakat berlangsung secara dinamis. Tidak sedikit suatu persitiwa atau fakta yang terjadi dan berubah drastis seiring perkembangan zaman. Perkembangan yang dinamis dan cepat ini seringkali tidak diikuti dengan suatu perangkat hukum yang mampu mengakomodasi keadaan tersebut. Oleh karenanya, jamak terjadi hukum seakan tidak berdaya menghadapi suatu realitas kehidupan dalam masyarakat. Dalam memaknai hal tersebut, paradigma hukum progresif menempatkan predikat hukum yang baik manakala secara substansi ia mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, atau dalam kalimat lain lazim disebut dengan ‘hukum untuk manusia’.
Mahkamah Agung (MA) sebagai salah satu lembaga yudikatif yang memegang kekuasaan kehakiman senantiasa berupaya menghadirkan kebijakan-kebijakan demi kepentingan keadilan. Pada hal ini, penulis membatasi makna ‘kebijakan’ pada aturan (regeling) Mahkamah Agung terkait dengan penyelenggaraan peradilan, teknis yustisial maupun administrasi persidangan, dalam hal ini adalah Peraturan Mahkamah Agung (Perma). Kewenangan Mahkamah Agung dalam menerbitkan Perma merupakan kewenangan atributif yang diberikan oleh undang-undang. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 79 Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Pada awalnya pembentukan Perma dimaksudkan hanya dalam hal terjadi kekurangan atau kekosongan hukum dalam penerapan jalanya peradilan. Namun dalam perjalanannya, substansi muatan Perma juga tidak jarang berisi tentang suatu teorobosan hukum.
Selengkapnya KLIK DISINI